BUDAYA MENCONTEK DIKALANGAN SISWA DAN MAHASISWA
Fenomena ini sering terjadi dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah atau madrasah, tetapi jarang kita dengar masalah menyontek dibahas dalam tingkatan atas, cukup diselesaikan oleh guru atau paling tinggi pada tingkat pimpinan sekolah atau madrasah itu sendiri.
Sudah dimaklumi bahwa orientasi belajar siswa-siswi di sekolah hanya untuk mendapatkan nilai tinggi dan lulus ujian, lebih banyak kemampuan kognitif dari afektif dan psikomotor, inilah yang membuat mereka mengambil jalan pintas, tidak jujur dalam ujian atau melakukan praktek mencontek.
Proses belajar yang orientasinya hanya untuk mendapatkan nilai menurut Megawangi (2005), biasanya hanya melibatkan aspek kognitif (hafalan dan drilling), dan tidak melibatkan aspek afektif, emosi, sosial, dan spiritual. Memang sulit untuk mengukur aspek-aspek tersebut, sehingga bentuk soal-soal pasti hafalan atau pilihan berganda (kognitif). Pelajaran agama, PPKN, dan musik yang seharusnya melibatkan aspek afektif, ternyata juga di “kognitifkan” (hafalan) sehingga tidak ada proses refleksi dan apresiasi.
Karena, menghafal buku teks (yang memang diwajibkan untuk bisa menjawab soal ujian), adalah skill yang paling tidak penting bagi manusia . Jadi, mereka didik hanya menjadi robot; tidak ada inisiatif, dan pasif. Manusia ini biasanya tidak dapat berpikir kritis, dan tidak dapat menganalisis permasalahan, apalagi mencari solusinya, sehingga mudah dipengaruhi dan diprovokasi untuk melakukan hal-hal yang negatif. (Megawangi, 2005).
Pengalaman penulis ketika di Sekolah Dasar budaya menyontek sudah mulai ada, ketika latihan menjawab soal-soal matematika,beberapa teman-teman sudah berani melihat jawaban temanya dan menyalinnya. Di Sekolah Menengah Pertama, penulis menjadi korban teman yang nakal dan malas yang secara tiba-tiba mengambil jawaban penulis dan menyalinnya di lembar jawabannya, perbuatan ini tidak bisa dicegah karena ada rasa takut dan kasihan dengannya. Bahkan terkadang mereka tanpa takut dan malu melihat buku catatan dan meminta jawaban kepada teman yang dianggap pintar ketika ujian. Perbuatan ini mungkin saja diketahui oleh pengawas atau guru mata pelajaran yang diujikan, atau mungkin pula mereka pura-pura tidak tahu, entahlah yang jelas nilai ujian mereka ternyata hasilnya cukup baik.
Anehnya perbuatan menyontek tersebut dibiarkan saja oleh pengawas ujian (pada waktu itu ulangan umum), tidak dilaporkan kepada guru, Meskipun ada guru yang mengetahuinya, mereka tidak menanggapinya dengan serius, tidak memberi teguran serta sanksi sama sekali, mungkin hal tersebut adalah hal biasa saja dan bagian dari usaha para siswa.
Jika tidak ada sanksi, maka orang akan cenderung mengulangi lagi. Jelas ini merugikan siswa-siswi yang rajin belajar, karena objektifitas penilaian tidak ada sama sekali yang dilihat hasil ujian bukan keseluruhan proses dalam pembelajaran. Dan pernah terjadi siswa yang jujur dalam menjawab pertanyaan nilainya lebih rendah daripada siswa yang jelas-jelas menyontek siswa yang jujur tersebut. Akibatnya ia menjadi prustasi, dendam dan marah kepada diri sendiri yang mudah sekali dicontek teman, marah kepada teman yang menyonteknya, marah kepada guru yang memberi nilai yang tidak obyektif. Penulis pernah merasa kecewa sekali ketika ujian salah satu mata pelajaran yang penulis sendiri yakin akan kebenaran jawaban itu tiba-tiba ada pengawas yang menuliskan jawaban itu di papan tulis. Tentu mengembirakan siswa-siswi yang tidak bisa menjawab tetapi mengecewakan siswa-siswi yang benar menjawabnya.
Tetapi ada juga guru yang mempunyai pengalaman yang luas dan mengetahui karakteristik siswanya, sang guru akan curiga jika siswa yang sehari-harinya biasa-biasa saja, ketika ulangan atau ujian nilainya bagus semua, dan semakin curiga lagi jika jawaban siswa tersebut sama persis dengan buku catatan dan sama dengan jawaban anak yang pintar dan duduk didekat atau disebelahnya.
Ketika penulis berada di Sekolah Menengah Atas, masalah ini semakin banyak saja, dan suatu peristiswa yang penulis saksikan seorang juara kelas dibuat malu oleh gurunya karena dicurigai bekerjasama dalam ulangan harian sehingga harus ulangan harian lagi bersama-sama siswa-siswi yang dicurigai menyontek atau bekerja sama. Padahal menurut penulis pada waktu itu tidak mungkin seorang juara kelas menyontek, pasti jawabannya yang dicontek teman yang lain sehingga jawaban mereka sama semua.
Dan masih di sekolah tersebut teman penulis yang nilainya pas-pasan pada semester pertama, dan mendapat rangking di atas 40 dari 50 siswa, tiba-tiba masuk sepuluh besar di kelas itu disebabkan ketika ulangan umum semester kedua ia duduk sebangku dengan juara kelas. Apakah ini adil dan obyektif.
Dimana pengamatan guru selama ini terhadap siswa-siswinya.
Masih masalah menyontek ternyata di perguruan tinggi semakin canggih lagi, karena ada istilah dikalangan mahasiswa “ngakal tetapi berakal, menyontak pakai otak”. maksudnya menyontek itu tidak sama dengan menyalin pelajaran, ambil intinya saja, atau menggunakan kata-kata lain yang maksudnya sama dengan yang ada di buku dan jawaban teman.
Masih masalah menyontek ternyata di perguruan tinggi semakin canggih lagi, karena ada istilah dikalangan mahasiswa “ngakal tetapi berakal, menyontak pakai otak”. maksudnya menyontek itu tidak sama dengan menyalin pelajaran, ambil intinya saja, atau menggunakan kata-kata lain yang maksudnya sama dengan yang ada di buku dan jawaban teman.
Anehnya perbuatan contek menyontek dikalangan pelajar sampai saat ini masih saja ada, tidak pernah terdengar ada sanksi, skorsing, pengurangan nilai atau pembatalan kenaikan kelas bagi siswa-siswi yang ketahuan menyontek dalam ulangan. Tidak pernah ada dalam rapat orang tua, guru, kepala sekolah, pengawas, dan pembina pendidikan membicarakan masalah menyontek, sekolah seakan menutup diri, seolah-olah semua siswa-siswinya bersih dalam praktek menyontek.
Satu hal lagi yang merugikan para siswa adalah sistem penilaian guru sangat subyektif, kebanyakan menilai jawaban siswa saja, tanpa melihat proses bagaimana ia mendapatkan nilai tersebut, sehingga menimbulkan kerugiaan tidak hanya pada siswa yang pintar tetapi juga pada siswa yang malas.
Jika ini terus dibiarkan saja oleh kita sebagai guru, orang tua murid, pemerhati pendidikan, pejabat pemerintah dan semua komponen masyarakat lainnya, maka dunia pendidikan tidak akan maju, malahan menciptakan manusia tidak jujur, malas, yang cenderung mencari jalan pintas dalam segala sesuatu dan akhirnya menjadi manusia yang menghalalkan segala cara untukmencapai tujuan yang diinginkannya
Menyontek atau menjiplak menurut Kamus Bahasa Indonesia karangan W.J.S. Purwadarminta adalah mencontoh, meniru, atau mengutip tulisan, pekerjaan orang lain sebagaimana aslinya.
Dalam artikel yang ditulis oleh Alhadza (2004) kata menyontek sama dengan cheating. Beliau mengutif pendapat Bower (1964) yang mengatakan cheating adalah perbuatan yang menggunakan cara-cara yang tidak sah untuk tujuan yang sah/terhormat yaitu mendapatkan keberhasilan akademis atau menghindari kegagalan akademis. Sedang menurut Deighton (1971), cheating adalah upaya yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan keberhasilan dengan cara-cara yang tidak fair (tidak jujur).
Menurut Suparno (2000). Segala sistem dan taktik penyontekan sudah dikenal siswa. Sistem suap agar mendapat nilai baik, juga membayar guru agar membocorkan soal ulangan, sudah menjadi praktik biasa dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Banyak taktik yang digunakan untuk mendapatkan jawaban dari teman dalam ujian atau sedang kuis. Mulai dari membuka buku di kolong meja atau menggunakan sandi-sandi khusus agar tidak ketahuan oleh guru atau pengawasnya Banyak siswa yang sudah handal dalam hal menyontek .
Menyontek dapat dikatagorikan dalam dua bagian ; pertama menyontek dengan usaha sendiri; kedua dengan kerjasama. Usaha sendiri disini adalah dengan membuat catatan sendiri, buka buku, dengan alat bantu lain seperti membuat coretan-coretan dikertas kecil, rumus ditangan, di kerah baju, bisa juga dengan mencuri jawaban teman Kerjasama dengan teman dengan cara membuat kesepakatan terlebih dahulu dan membuat kode-kode tertentu atau meminta jawaban kepada teman.
Dalam makalah yang ditulis Alhadza (2004) yang termasuk dalam kategori menyontek antara lain adalah meniru pekerjaan teman, bertanya langsung pada teman ketika sedang mengerjakan tes/ujian, membawa catatan pada kertas, pada anggota badan atau pada pakaian masuk ke ruang ujian, menerima dropping jawaban dari pihak luar, mencari bocoran soal, arisan (saling tukar) mengerjakan tugas dengan teman, menyuruh atau meminta bantuan orang lain dalam menyelesaikan tugas ujian di kelas atau tugas penulisan paper dan take home test.
Budaya menyontek sebenarnya bukan hanya dilakukan oleh pelajar zaman sekarang saja, tetapi telah ada sejak zaman dahulu. Hanya, cara dan sikap yang diperlihatkan pelajar zaman sekarang dengan zaman dahulu sangatlah berbeda. Pelajar zaman sekarang menganggap menyontek bukan perbuatan dosa. Mereka malah merasa hal itu wajar dilakukan. Justru tidak wajar jika mereka dilarang menyontek.
Sedangkan pelajar zaman dahulu menganggap menyontek merupakan perbuatan dosa sehingga hanya sedikit sekali yang berani melakukannya. Itu pun karena dalam kondisi terpaksa. Bila ketahuan atau tertangkap basah sewaktu menyontek, pelajar zaman sekarang malah tertawa-tawa kesenangan tanpa menunjukkan sikap malu sedikit pun. Kalau pelajar dahulu, belum pun ketahuan sudah gemetaran tubuhnya sampai berkeringat dingin. Apalagi jika ketahuan, sakitnya tak seberapa, tapi malunya ini luar biasa!
Untuk memperoleh nilai tinggi, banyak cara atau tipu muslihat yang dilakukan pelajar sekarang dalam menyontek. Misalnya, ada yang berlindung di balik tubuh temannya dari pandangan pengawas ujian agar tak terlihat saat merunduk membaca catatan.
Ada yang berpindah duduk ke bangku temannya yang lebih pintar. Ada juga yang dari rumah telah menulisi catatan dalam kertas super panjang dan digulung rapi sedemikan rupa. Bahkan ada yang nekat secara terang-terangan menyalini jawaban temannya. Yang lebih unik dan sungguh keterlaluan, pelajar wanita melakukannya dengan cara menulisi catatan di paha mulusnya.
Begitulah cara-cara yang sering dilakukan pelajar dalam menghadapi ujian di sekolahnya belakangan ini. Mereka telah membuang rasa malu dengan menebalkan mukanya setebal tembok hanya demi mendapat nilai yang bagus. Apakah mereka melakukan perbuatan tidak jujur dan tercela itu karena mereka memang bodoh atau karena malas belajar?
Sebuah film yang baru dikelurkan beberapa saat lalu yang berjudul “3 idiots” merupakan sebuah cerminan sebenarnya bagaimana kita sebagai pelajar menuntuk ilmu, dari tokoh utama pemeran film tersebut dapat kita ambil pelajaran bahwa kita sekolah dan kuliah bukan untuk mencari nilai atau IP yang tinggi melainkan ilmulah yang seharusnya kita cari. Kebanyakan orang memilih untuk menyontek dikarenakan mereka ingin mendapatkan nilai yang baik walaupun sebenarnya tidak ada yang mereka dapatkan dari mencontek tersebut.
Pada dasarnya mereka tidaklah sebodoh yang kita bayangkan. Tak ada manusia di dunia ini yang bodoh. Yang ada hanyalah malas! Karena malas belajarlah membuat mereka nekat menempuh cara instan yang tak wajar untuk meraih nilai yang diinginkannya. Mereka sering mengatakan, buat apa capek-capek belajar kalau dengan menyontek semuanya menjadi mudah?
Sebetulnya banyak akibat negatif dari menyontek daripada akibat positifnya. Pelajar jadi malas untuk berusaha dan belajar giat untuk mendapatkan nilai yang memuaskan . Mereka hanya ingin praktis mendapatkan jawaban dari setiap soal tanpa tahu apakah jawaban itu benar atau salah. mungkin para guru atau para orang tua juga sudah lelah memberitahu apa dampak jeleknya menyontek, namun nasihat itu jarang sekali didengar atau ditanggapi secara serius oleh mereka .
Padahal kita akan lebih puas mendapatkan nilai dengan kerja sendiri walaupun dengan nilai yang apa adanya dibandingkan dengan hasil menyontek. karena bila kita mengerjakan soal itu sendiri kita akan hafal secara tidak langsung jawaban itu dibandingkan dengan menyontek yang hanya akan sekedar lewat di dalam pikiran kita.
Seorang pelajar hendaknya selalu menyadari bahwa menyontek dalam ujian merupakan sebuah sikap pembodohan diri. Memanjakan otak dengan menyontek dapat merugikan diri sendiri seketika itu juga. Misalnya, guru atau pengawas akan langsung memberi sanksi berupa penarikan lembar jawaban atau mengeluarkannya dari ruang ujian. Pengawas menyilang lembar jawaban dan langsung memberinya nilai nol juga merupakan dampak ketahuan menyontek. Ada pula pengalaman teman penulis, seketika itu pengawas menyuruhnya mengunyah lembar jawaban hingga lumat selama berlangsung ujian ketika ia tertangkap basah sedang menyontek.
Kerugian lain yang akan dialami pelajar yang terbiasa menyontek akan membuat masa depannya suram. Ia tak memiliki daya kreativitas dan daya inovatif dalam berbagai bidang pekerjaan. Menyontek yang sudah mendarah daging akan sangat sulit mengubahnya dalam jangka waktu singkat, sebab sikap malas itu telah berkembang menjadi akut di dalam dirinya.
Cara berpikir pelajar pemalas umumnya selalu negatif. Di dalam dirinya tak ada motivasi untuk hidup berkembang dan ingin maju. Itu pula dampak dari kebiasaan menempuh segala masalah dengan cara instan yang tak jujur dan tak terpuji itu. Bagi pelajar pemalas, ujian merupakan beban yang harus diakhiri dengan cara instan yakni dengan menyontek. Dengan demikian, pelajar pemalas akan lebih sering dikucilkan masyarakat dalam kehidupan sosialnya di kemudian hari.
Selain karena malas belajar akibat kurangnya motivasi serta kuatnya pengaruh negatif lingkungan, faktor pengawas ujian ikut pula memperbesar peluang menyontek di kalangan pelajar. Ada kalanya pengawas sering berpura-pura tak tahu dengan segala kecurangan peserta ujian, bahkan sengaja membiarkan siswanya menyontek atau bekerja sama dengan temannya. Mereka tak mau direpotkan dengan tugas-tugas seperti layaknya seorang inteligen. Akibatnya, gairah belajar si pelajar itu semakin melemah karena dipicu terbukanya peluang menyontek itu.
Pelajar yang berprestasi pada umumnya tak akan mau memanfaatkan kelonggaran pengawas ujian. Mereka akan tetap tegar menjawab semua soal ujian dengan jujur dan apa adanya sesuai kemampuan yang dimilikinya. Begitu pula dengan pengawas ujian yang tahu kewajibannya tak akan mau meracuni siswanya dengan memberi peluang menyontek atau bekerja sama. Mereka sadar bahwa meracuni siswa akan membuat masa depan mereka menjadi suram dan mati. Sikap kejujuran dan kesadaran seperti itu sejatinya harus bersinergi selalu agar kualitas pendidikan di republik ini dapat terangkat di tataran dunia.
Perlu disadari bahwa otak manusia beranalogi dengan mata pisau. Semakin sering diasah akan semakin tajam ia. Seorang BJ Habibie (mantan presiden ke-3 RI) mengaku tak pernah menyontek dengan cara apa pun dalam berbagai ujian. Ia telah membekali dirinya dengan belajar keras, jauh sebelum ujian berlangsung. Beliau merasa malaikat selalu ada di dekatnya mencatat segala perbuatan dosa setiap manusia meski perbuatan dosa itu dilakukan hanya sekecil biji sawi. Prinsip itulah yang mengantarkannya menjadi salah seorang dalam sepuluh besar manusia terpintar di dunia.
Belajar dari prinsip Habibie dan orang-orang pintar lainnya, seorang pelajar seharusnya menjauhkan kebiasaan menyontek dalam ujian. Pelajar harus mampu menegakkan sikap jujur dan sportif tanpa harus melakukan kecurangan dalam berbagai ujian. Karena itu, harus senantiasa membekali diri dengan belajar keras sebelum ujian berlangsung. Dengan membiasakan diri rajin belajar keras setiap saat akan membuat otak terasah semakin tajam seperti mata pisau. Cara ini merupakan salah satu modal penting yang perlu disikapi dalam upaya meraih prestasi yang gemilang.
Perlu senantiasa diingat bahwa menyontek merupakan kebiasaan yang akan merugikan diri sendiri, baik pada seketika itu juga maupun pada masa-masa mendatang. Pelajar yang tak pernah berusaha menghilangkan kebiasaan menyontek dari dalam dirinya mulai sekarang, kelak tak akan pernah meraih sukses sepanjang hidupnya.
Menurut, Dien F. Iqbal, dosen Fakultas Psikologi Unpad, seperti yang dikutip Rakasiwi (2007)dalam irawati orang menyontek disebabkan faktor dari dalam dan di luar dirinya. Dalam ilmu psikologi, ada yang disebut konsep diri dan harga diri. Konsep diri merupakan gambaran apa yang orang-orang bayangkan, nilai dan rasakan tentang dirinya sendiri. Misalnya, anggapan bahwa, “Saya adalah orang pintar”. Anggapan itu lalu akan memunculkan kompenen afektif yang disebut harga diri. Namun, anggapan seperti itu bisa runtuh, terutama saat berhadapan dengan lingkungan di luar pribadinya. Di mana sebagai kelompok, maka harus sepenanggungan dan senasib. Senang bersama, duka mesti dibagi.
Menurut Vegawati, Oki dan Noviani, (2004) dalam Irawati , Pada saat dorongan tingkah laku mencontek muncul, terjadilah proses atensi, yaitu muncul ketertarikan terhadap dorongan karena adanya harapan mengenai hasil yang akan dicapai jika ia mencontek. Pada proses retensi, faktor-faktor yang memberikan atensi terhadap stimulus perilaku mencontek itu menjadi sebuah informasi baru atau digunakan untuk mengingat kembali pengetahuan maupun pengalaman mengenai perilaku mencontek, baik secara maya (imaginary) maupun nyata (visual).
Proses selanjutnya adalah reproduksi motorik, yaitu memanfaatkan pengetahuan dan pengalamannya mengenai perilaku mencontek untuk memprediksi sejauh mana kemampuan maupun kecakapannya dalam melakukan tingkah laku mencontek tersebut. Dalam hal ini, ia juga mempertimbangkan konsekuensi apa yang akan ia dapatkan jika perilaku tersebut muncul. Dalam proses ini, terjadi mediasi dan regulasi kognitif, di mana kognisi berperan dalam mengukur kemungkinan-kemungkinan konsekuensi apa yang akan diterimanya bila ia mencontek.
Dari teori-teori tentang motivasi, diketahui bahwa cheating bisa terjadi apabila seseorang berada dalam kondisi underpressure, atau apabila dorongan atau harapan untuk berprestasi jauh lebih besar dari pada potensi yang dimiliki. Semakin besar harapan atau semakin tinggi prestasi yang diinginkan dan semakin kecil potensi yang dimiliki maka semakin besar hasrat dan kemungkinan untuk melakukan cheating. Dalam hal seperti itu maka, perilaku cheating tinggal menunggu kesempatan atau peluang saja, seperti kita dengar iklan di televisi mengatakan tentang teori kriminal bahwa kejahatan akan terjadi apabila bertemu antara niat dan kesempatan.
Menurut Alhadza (2004) dalam makalahnya mengenai masalah menyontek yang ia istilahkan dengan cheating menyebarkan kuesioner dengan pertanyaan terbuka kepada sekitar 60 orang teman mahasiswa di PPS UNJ. Dari hasil kuisioner tersebut didapatkan jawaban tentang alasan seseorang melakukan cheating dengan pengelompokan sebagai berikut.
1. Karena terpengaruh setelah melihat orang lain melakukan cheating meskipun pada awalnya tidak ada niat melakukannya.
2. Terpaksa membuka buku karena pertanyaan ujian terlalu membuku (buku sentris) sehingga memaksa peserta ujian harus menghapal kata demi kata dari buku teks.
3. Merasa dosen/guru kurang adil dan diskriminatif dalam pemberian nilai.
4. Adanya peluang karena pengawasan yang tidak ketat.
5. Takut gagal. Yang bersangkutan tidak siap menghadapi ujian tetapi tidak mau menundanya dan tidak mau gagal.
6. Ingin mendapatkan nilai tinggi tetapi tidak bersedia mengimbangi dengan belajar keras atau serius.
7. Tidak percaya diri. Sebenarya yang bersangkutan sudah belajar teratur tetapi ada kekhawatiran akan lupa lalu akan menimbulkan kefatalan, sehingga perlu diantisipasi dengan membawa catatan kecil.
8. Terlalu cemas menghadapi ujian sehingga hilang ingatan sama sekali lalu terpaksa buka buku atau bertanya kepada teman yang duduk berdekatan.
9. Merasa sudah sulit menghafal atau mengingat karena faktor usia, sementara soal yang dibuat penguji sangat menekankan kepada kemampuan mengingat.
10. Mencari jalan pintas dengan pertimbangan daripada mempelajari sesuatu yang belum tentu keluar lebih baik mencari bocoran soal.
11. Menganggap sistem penilaian tidak objektif, sehingga pendekatan pribadi kepada dosen/guru lebih efektif daripada belajar serius.
12. Penugasan guru/dosen yang tidak rasional yang mengakibatkan siswa/mahasiswa terdesak sehingga terpaksa menempuh segala macam cara.
13. Yakin bahwa dosen/guru tidak akan memeriksa tugas yang diberikan berdasarkan pengalaman sebelumnya sehingga bermaksud membalas dengan mengelabui dosen/guru yang bersangkutan,.
13. Yakin bahwa dosen/guru tidak akan memeriksa tugas yang diberikan berdasarkan pengalaman sebelumnya sehingga bermaksud membalas dengan mengelabui dosen/guru yang bersangkutan,.
Dampak yang timbul dari praktek menyontek yang secara terus menerus dilakukan akan mengakibatkan ketidakjujuran Jika tidak, niscaya akan muncul malapetaka: peserta didik akan menanam kebiasaan berbuat tidak jujur, yang pada saatnya nanti akan menjadi kandidat koruptor. (Poedjinoegroho, 2006)
Pengajaran yang orientasinya siswa mampu menjawab soal dan bukan pada pengertian serta pengembangan inovasi dan kreatifitas siswa akan menumbuhkan kebosanan, kejenuhan, suasana monoton yang dapat berakibat stress. Sudah waktunya sistem pendidikan kita bersifat two way communication antara guru/dosen dan siswa/mahasiswa. Kelompok kerja makalah, presentasi, pembuatan alat peraga, studi lapangan (misalnya ke pabrik salah satu orang tua siswa) kiranya lebih digiatkan daripada menimbuni siswa/mahasiswa dengan soal-soal yang banyak tapi dikerjakan dengan menyontek. (Widiawan,1995 dalam irawati)
Jika masalah mencontek ini masih saja dianggap sepele oleh semua orang, tidak akan respon dan tanggapan dari guru, kepala sekolah, pengawas, dinas pendidkan para pakar pendidikan dan pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan, penulis pesimis dunia pendidikan akan maju, kreatifitas siswa akan hilang yang tumbuh mungkin orang-orang yang tidak jujur yang bekerja disemua sektor kehidupan.
saran
Dari pihak pengajar atau guru, harus bertidak tegas saat ujian dengan cara benar benar mengawasi murid muridnya saat ujian serta memberikan sangsi yang benar benar tegas dan membuat jera baik kepada yang mencontek dan yang memberikan contekan, Lebih sering mengadakan ujian lisan. dengan begitu murid muridnya nya tidak punya pilihan lain selalin belajar dan percaya pada diri sendiri. Mungkin dengan begitu lama kelamaan para murid jadi lebih terbiasa untuk percaya pada dirinya sendiri.
Untuk para muridnya, jangan takut melaporkan kecurangan yang dilakukan oleh teman. Karena ada beberapa murid yang tidak mau melaporkan temannya yang mencontek karena alasan solidaritas dan sebagainya, lebih percaya diri lagi dalam mengerjakan soal yang diberikan, mengerjakan terlebih dulu soal yang mudah sehingga tidak membuang-buang waktu.
Untuk orang tua dan guru, harus menanamkan sikap jujur dan percaya diri sejak dini kepada anak. Tetapi bukan cuma sekedar teori, tetapi juga menunjukkan teladan atau contoh yang baik.
Untuk para muridnya, jangan takut melaporkan kecurangan yang dilakukan oleh teman. Karena ada beberapa murid yang tidak mau melaporkan temannya yang mencontek karena alasan solidaritas dan sebagainya, lebih percaya diri lagi dalam mengerjakan soal yang diberikan, mengerjakan terlebih dulu soal yang mudah sehingga tidak membuang-buang waktu.
Untuk orang tua dan guru, harus menanamkan sikap jujur dan percaya diri sejak dini kepada anak. Tetapi bukan cuma sekedar teori, tetapi juga menunjukkan teladan atau contoh yang baik.
0 komentar:
Posting Komentar